14.11.10

dipilih dipilih dipilih, bli, gek!

life is full of choices
make sure you pick the right one
dont listen too much voices
hear only yours and you have won

apakah ini?


ataukah ini?


pilih sesuka hati!:)

15.6.10

Dayak


Saya baru nonton tarian Dayak di Pekan Kesenian Bali. Justru di Pontianak saya gak pernah lihat.

Tarian Dayak bukan gemulai tapi
dinamis kalau enggan disebut tribal
yang lain mengayun selendang lembut
mereka mengayun parang tetak

mencak mencak mengusir ruh jahat
mencak mencak mengejar dara
mencak mencak menyambut tamu

sebagai ganti kipas
ada bulu burung
burung besar pastinya, mungkin enggang
atau merak?

Indah dengan caranya sendiri
kuat.

6.6.10

Salam dari kode pos 16424


“Apa? Harus muterin UI, Pak?”
“Iya, nanti saya carikan kos-kosan deket situ, OK?”
“Berapa lama, Pak, kira-kira?”
“Kalau ITB kemarin seminggu, ya mungkin UI dua minggu, besar lho”
“O, oke, Pak. Makan dan lain-lain ditanggung ya”
“Iyya doong!!”


Dan akhirnya di sini saya terdampar di kos-kosan belakang rel stasiun kereta UI. Untuk pertama kalinya melihat Depok.

***
Pagi hari Senin, pukul 07.15 waktu Indonesia bagian barat. Gang Sawo tempat kos saya selalu ramai dan sibuk di jam ini. Pedagang kaki lima yang memenuhi pingiran sirkulasi ke Stasiun Universitas Indonesia bangun subuh-subuh dan menata dagangan. Mulai koran, tisu, cemilan, alat tulis kantor, aksesoris, sampai DVD porno juga ada. Mahasiswa-mahasiswi wara wiri. Pandangan lurus-lurus, tak sedikit yang menunduk, mungkin belum mandi. Deretan rental komputer dan tempat ngeprint penuh. Seolah tak ada waktu untuk melakukannya tadi malam. Udara gerah, bukan segar apalagi bau embun.
Selain kesibukan yang tampak dari indra visual, telinga pun kerja keras. Ribut. Seluruh badan rasanya punya telinga. Teriakan dari pengeras suara stasiun, bunyi gorengan dicelup ke minyak panas, juga cekikikan yang datang entah dari mana. Tapi pagi ini tetap saja indah. Inilah menariknya kota. Semua tumplek tublek jadi satu.
Sedikit tentang Depok yang saya baca sebelum berani datang ke kota ini sendiri. Depok pada awalnya hanya dusun kecil jauh di tengah hutan. Sekitar tahun 1696, Cornelis Chastelein, seorang pejabat VOC membeli tanah yang sekarang menjadi Depok ini. Konon, nama Depok diambil dari padepokan Kristiani yang didirikan oleh Belanda itu, De Eerste Protestante Organisatie van Christenen (DEPOC). Tahun 1871 Depok diizinkan memiliki pemerintahan sendiri oleh kompeni. Setelah merdeka, Depok mendapatkan status Kota Administratif pada tahun 1982, kemudian Kotamadya (sekarang Kota) pada tahun 1999 hingga sekarang.
16424 adalah kode pos untuk tempat dimana saya akan tinggal selama 2 minggu ke depan, kawasan yang disebut Pondok Cina –disingkat Pocin, salah satu kawasan di Kecamatan Beji, Kota Depok, yang menjadi salah satu kota penyangga dari metropolis terbesar di Indonesia, yaitu Jakarta. Di kota ini juga terdapat Universitas Indonesia (UI) yang ribuan orang berlomba-lomba menjadikannya tempat menuntut ilmu. Tak diragukan lagi, Depok berkembang pesat. Mobilitas tinggi menjadi salah satu ciri masyarakat urban. Beragam moda tranportasi disediakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satunya KRL (Kereta Rel Listrik).
Salah satu stasiun paling ramai di Depok adalah stasiun kereta Universitas Indonesia. Tak hanya ramai oleh para pengguna kereta, tapi juga oleh mahasiswa UI yang melintasi rel sebagai akses utama ke kampus. Juga ramai oleh kaum penjaja yang meraup hidup dari para mahasiswa tersebut. Sisi lain dari gemerlap kota muncul di tempat-tempat seperti ini. Keterbatasan timbul dari segala aspek.

(Hunian)
Bukan rahasia kalau tingkat afordabilitas akan tempat tinggal layak bagi sebagian warga kota masih sangat rendah. Sudah untung buat mereka yang bisa tinggal di rumah susun seberang rel yang dianggap jelas oleh penguasa. Sudah untung buat mereka yang punya bedeng-bedeng kecil berdinding triplek dengan luas tidak manusiawi yang seringkali digusur-gusur oleh penguasa, daripada ibu-ibu yang selalu bermalam di depan pagar kosan, menunggu di beri receh. Kota bahkan belum bisa memberi mereka ruang.

(Infrastruktur)
Pernah berjalan dari tepian jalan Margonda menuju kampus UI? Jika ya, pasti tahu bahaya apa yang mengancam warga kota jika ingin menuntut ilmu. Ditabrak kereta! Jika mau ke UI, saya akan berjalan kaki melewati gang yang penuh pedagang tadi, dan menyebrangi lintasan rel kereta UI secara liar. Tidak/belum ada kebijakan untuk memberikan jalur khusus pejalan kaki yang aman dan nyaman agar mencapai seberang. Entah lewat kolong bawah tanah, atau jalur pedestrian di atas (above) rel kereta.
Pejalan kaki memang punya hak yang buruk di kota di negeri ini. Jauh dari kenyaman berjalan di jalur pedestrian besar, jauh pula dari kenyamanan berjalan di jalur pedestrian yang rata. Jauh dari ketersediaan jalur khusus pejalan kaki. Untungnya kota ini penuh toleransi. Warga boleh berjalan di mana saja, warga boleh menyebrang di mana saja.

(Mata Pencaharian)
Keberadaan UI memberi banyak peluang bagi mereka yang jeli. Kawasan UI-Margonda (FYI, Jalan Margonda adalah central Business District-nya Depok) menjadi lahan basah bagi para pemilik modal. Bisnis kos-kosan menjamur di mana-mana. Dan dari permukiman itu pulalah sektor lain bermunculan, perdagangan dan jasa yang memberi penghidupan bagi segelintir warga kota Depok. Apa ini berarti kota yang menyediakan lapangan kerja?

(Rekreasi)
Kapankah warga kota terpikir untuk berekreasi? Benar, saat tetek bengek kebutuhan primer mereka terpenuhi. Di mana mereka berekreasi? Mall?!
Ruang terbuka publik dan ruang terbuka hijau. Memang sepertinya belum menjadi budaya kita untuk berekreasi ke taman kota. Padahal dengan banyak hal yang bisa menjadi efek dari keberadaan ruang terbuka pada sebuah kota. Pertama, mengurangi kecenderungan warga menggunakan kendaraan bermotor yang belum tentu lulus uji emisi. Kedua, tentu saja meningkatkan kualitas ruang kota yang berskala manusia, dan ketiga, menghadirkan kualitas udara yang lebih baik bagi kota.
Mungkin memang belum ada taman yang cukup indah dan aman untuk digunakan bersantai menikmati hari. Ups, tidak lupa bahwa di dalam kawasan UI ada beberapa danau buatan yang bisa digunakan untuk bersantai seperti memancing, dan jalan pagi. Yah, setidaknya ini mengurangi rasa rindu warga Depok terhadap alam.

(Arsitektur)
Boro-boro. Hanya sedikit golongan yang berpikir ke arah bidang ini. Sepertinya tak pernah ada di benak para penguasa untuk berarsitektur. Miris, bahwa kita ternyata belum sampai pada pemikiran bahwa sebuah kota bisa dibangun dengan arsitektur, dan bahwa arsitektur bukan hanya milik kaum elit saja.

(Sosial)
Beragam jenis mobil parkir di halaman kosan saya, padahal jalan masuk hanyalah gang sempit penuh orang selebar kira-kira 2-3 meter. Mobilnya bagus-bagus, kemudinya dipegang oleh mahasiswa yang paling umurnya sekitar 19-23 tahun. Muda belia. Begitu keluar dari mobil mewah, yang mereka temui adalah udara panas, dan seabrek manusia lain dengan persoalan hidup yang tak kalah pelik dari kesulitan mereka menahan nafsu belanja.

Depok dan kota lain di Indonesia rentan terhadap masalah sosial. Kesenjangan antar warga kota. Kaya-jelata. Pintar-bodoh. Sehat-penyakitan. Berkuasa-tak berdaya.
***
Tentu masih banyak aspek yang belum tertulis di atas, jadi,
apa yang menarik dari kota yang justru penuh kesemerawutan dan keterbatasan?
Kota, adalah magnet pertumbuhan peradaban. Kota menjadi simbol kesempatan. Semua hal yang hadir di kota besar selalu merujuk pada harapan “akan lebih baik”. Penghasilan, pendidikan, kesehatan, hiburan, pokoknya semua aspek kehidupan. Maka berbondong-bondong orang datang ke kota, urbanisasi. Masalahnya, apa struktur kotanya sudah siap menampung manusia-manusia itu?
Sudah waktunya kita melongok lewat jendela ke sebelah. Di negara-negara tetangga yang lebih dulu bisa membangun kota yang nyaman bagi warganya. Melihat, mencontoh, bagaimana bisa ada anak kecil setiap sore bermain bersama di taman kota. Atau para lansia jalan-jalan pagi menghirup udara segar dari pepohonan di pinggir jalan sekitar rumah mereka. Atau gedung-gedung pencakar langit yang bukan hanya another box building. Atau transportasi publik bebas emisi yang mengangkut warganya. Atau pengamen jalanan dengan kreatifitas seniman menghibur kita saat pulang kerja.
Atau atau... ...
Sudah saatnya pula kota kita (kota segenap para penggerak dan penghuninya) berkewajiban sekaligus berhak atas apa yang disebut human security oleh Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap De Wilde pada akhir 1990. Jelas ini bukan teori kemarin sore. Dalam penjabarannya menjelaskan bahwa sudah seharusnya objek rujukan dalam isu keamanan (security) diperluas. Bukan hanya keamanan negara seputar persoalan militer, tapi juga keamanan manusia (human security) meliputi kemiskinan, kelaparan, pendidikan, isu gender, kesehatan ibu dan anak, HIV/AIDS, dan lingkungan hidup (jiwa, raga, dan rasa). Jika kota sudah bisa memenuhi kebutuhan ‘aman’ bagi warga kota, saat itulah kita berada di kota yang kita impikan, tetap dalam keterbatasan tapi tidak dalam kesemerawutan. Secure City.
Mewujudkan secure city bukan hanya soal bagi pemerintah, bukan? Banyak sektor yang bisa berperan, termasuk para arsitek dan perencana kota. Termasuk kita. Termasuk saya. Termasuk kamu.

***
“Hallo, Pak, saya sudah selesai survey UI-nya”
“Oh, yaya, terimakasih, kapan pulang ke Bandung?”
“Besok, pak, Selamat Natal dan Tahun Baru ya, Pak, semoga kota-kota selalu menyenangkan!”
“He? Kamu bilang apa?”
Klek.


Saya pun meninggalkan Depok, bagian dari metropolitan Jabodetabek, menuju Bandung, yang tak kalah terbatas dan semerawut, namun akan selalu menjadi tempat hidup yang menyenangkan jika kita tahu bagaimana menyikapi keduanya.

2.6.10

hello sunshine





kapan terakhir liat matahari terbit?

Sempatkanlah

30.5.10

pulau ini namanya Bali



pulau ini memang istimewa, di sini budaya terjaga dengan sendirinya. tanpa himbauan atau penyuluhan. mungkin ini bakti kepada dewa dan dewi.

banjar-banjar adat selalu ramai berkegiatan. melantunkan tembang-tembang dalam bahasa mereka. pakaian adat ada dimana-mana; kebaya, selendang, kain, dan udeng.
anak-anak perempuan belajar menari, yang laki-laki pun belajar menari.

kebaikan ada di mana-mana, karena mereka percaya karma itu ada.
karma baik akan dibayar baik
karma jahat tentu dibayar jahat

seimbang.

4.3.10

ternyata Maret

motonon- monoton
pagi - ke kantor - makan siang - kantor - makan malam - lembur - tidur - pagi lagi

begitu terus sampai tahu-tahu sudah Maret
yang beda itu ilmunya, kata orang-orang
yang beda itu tempatnya, kata orang -orang

ya tiap hari beda, masak sama, kata saya.

berbeda, tapi tau tau udah Maret. ahhh..

23.1.10

banyak jalan menuju apa?


banyak hal yang terjadi dalam hidup
tentu ada banyak jalan
ada jalan lurus, ada juga yang bercabang banyak
bahkan katanya ada jalan buntu
bagi saya yang paling menyulitkan adalah bertemu jalan bercabang banyak
seperti sekarang
semua memanggil-manggil minta dipilih
dan saya pun bingung,

tapi waktu yang berjalan terus ini
pada akhirnya yang membuat keputusan
semua keputusan tiba-tiba
semua tak terencana
jadi saya pun tetap bingung,